Mengorek Kesempatan di Tengah Perang Dagang serta Gelombang Digital

Di dalam eskalasi rintangan ekonomi di tahun 2019, beberapa pemasar dituntut untuk selalu memberi perform yang baik. Walau sebenarnya angka perkembangan ekonomi Indonesia semenjak empat tahun kemarin alami stagnasi. Menurut ahli marketing Yuswohady, beberapa ahli telah meramalkan pada 2019, akan berlangsung krisis global. Di Indonesia sendiri menurut dia akan susah bergerak naik dari angka perkembangan 5.1 %.

Yuswohadi memiliki pendapat jika stagnasi ekonomi di tahun 2019 sekurang-kurangnya dikarenakan oleh dua perihal, yakni perang dagang global serta digitalisasi.

Mencari kesempatan di tahun penuh tikungan


Perang dagang Amerika Serikat serta Tiongkok masih tetap jadi bayang-bayang buat beberapa pelaku bisnis di Indonesia. Efeknya nilai ganti rupiah pada dolar selalu melemah serta diprediksikan akan berjalan sampai tahun kedepan. Ditambah kembali, tahun 2019 adalah tahun pilpres serta legislatif. Pada umumnya tahun kedepan menurut dia perkembangan masih tetap stagnan serta adalah tahun yang penuh tikungan, akan tetapi pemasar dituntut untuk agresif.

“Amerika saat ini kembali kuat-kuatnya. Ekonomi Amerika dibawah Trump itu bagus. Cuma efeknya ialah ke Tiongkok. Perang dagangnya jadi kencang serta pengaruhnya pun berlangsung ke kita (Indonesia),” tuturnya.

Mengorek Kesempatan di Tengah Perang Dagang serta Gelombang Digital


“Negara yang middle penghasilan terkena efeknya. Seperti Venezuela, Turki, Malaysia, Thailand serta Indonesia. Rupiah diprediksikan tahun 2019 mendekati 16 ribu,” sambungnya.

Penulis buku best seller “Marketing to The Middle Class Moslem” ini nampaknya sangsi usaha dapat dengan mulus berekspansi tahun kedepan. Taktik yang peluang dapat digerakkan oleh usaha di tengahnya stagnasi ekonomi menurut dia ialah bereksperimen serta menguatkan intensitas untuk go digital.

“Tapi, buat pengusaha mesti masih tampak bagus (optimistis). Jadi utamanya ialah learning dari Trump, itu yang jadi opportunity,” tuturnya.

Yuswohady memiliki pendapat pada umumnya di tahun pemilu serta sengitnya perang dagang, pebisnis akan wait and see. Akan tetapi, malah seseorang pengusaha mesti berlaku waktu yang lain tengah wait and see. Berikut yang namanya merubah threat jadi opportunity. Perumpamaannya, waktu dolar tengah kuat pemasar dapat santer berpromosi komoditas pariwisata atau mengekspor produk. Berikut yang dimaksud merubah threat jadi opportunity.

Dampak efisiensi digital


Tidak hanya perang dagang, aspek lainnya yang menurut Yuswohady membuat perkembangan stagnan ialah disrupsi digital. Terjadinya disrupsi membuat alokasi sumber jadi lebih efektif atau dalam kata lainnya customer keluarkan dikit uang tetapi memperoleh banyak keuntungan. “Digitalisasi membuat ekonomi tidak berkembang jika kita gunakan terminologi lama. Jadi, mengkonsumsi kecil, dengan kecil itu ia bisa banyak,” katanya.

Dampak disrupsi digital telah bisa dirasa dari perkembangan ekonomi yang stagnan. Dalam kerangka ini stagnasi tidak selamanya jelek. Dengan digitalisasi semua proses usaha berjalan efektif. Dengan jumlah memang berkurang, tetapi dengan kualitas bertambah. Dia memberi contoh kehadiran ride–sharing seperti GoJek serta Grab yang membuat transportasi lebih efektif. Mulai dari efisiensi daya sebab pemakai tidak butuh berdiri di tepi jalan untuk menyebut armada cuma butuh memakai smartphone serta efisiensi dari sisi tarif.

“Contohnya GoJek serta Grab. Karenanya ada mereka jadi murah. Contohnya dahulu dari Thamrin ke bandara 100 ribu. Saat ini jadi 50 ribu. Spending-nya cuma 50 ribu akan tetapi kemanfaatannya masih sama,” tuturnya.

“Itu pun yang mengakibatkan perkembangan ekonomi ingin naik ke 5,2 sulit. Saya memandangnya demikian. Ekonomi berkurang, tetapi bukan bermakna mutunya menyusut. More for less kata kuncinya,” tuturnya kembali.

Menyesuaikan atau punah?


Gelombang digitalisasi jelas tidak tertahan serta jadi satu tuntutan buat usaha untuk menyesuaikan atau punah. Seperti dijelaskan awal mulanya, pengembangan jadi manuver usaha yang punya potensi di lakukan tahun 2019. Akan tetapi, usaha yang masih tetap konvensional menurut Yuswohady pengembangannya akan menghambur-hamburkan sumber serta kalah saing dengan usaha yang telah go digital.

“Digital jadi jalan keluar buat milenial sebab dapat murah. Service sama tetapi harga tambah murah. Itu milenial. Itu pun yang mengakibatkan ekonomi jika gunakan ukuran lama itu tidak dapat tumbuh,” katanya.

Digitalisasi memberi pilihan efisiensi pada customer. Mereka tidak akan ingin membayar suatu yang bagus, tetapi mahal. Perumpamaannya, fintech di waktu yang akan datang akan menggeser peranan bank. Dengan tingkat bunga yang lebih bersaing serta semua keringanan bertransaksi, tentu saja customer semakin lebih pilih fintech serta ada eranya bank tidak berkaitan kembali.

“Jadi saya duga, yang dapat survive ialah inovasi-inovasi yang berbasiskan digital. Dimana mereka memakai sumber daya itu begitu efektif,” ujarnya.